Seni lukis adalah salah satu cabang dari
seni rupa. Dengan dasar pengertian yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari
menggambar.
Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium
lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti
kanvas,
kertas,
papan, dan bahkan
film di dalam
fotografi bisa dianggap sebagai media lukisan. Alat yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan
imaji tertentu kepada media yang digunakan.
Zaman prasejarah.
Secara
historis, seni lukis sangat terkait dengan
gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang
manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding
gua
untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan
atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana
seperti
arang,
kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan
tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan
dedaunan atau
batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan
berwana-warni
di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini.
Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk
berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti
seni patung dan
seni keramik.
Seperti gambar, lukisan kebanyakan dibuat di atas bidang datar seperti
dinding,
lantai,
kertas, atau
kanvas. Dalam pendidikan seni rupa modern di Indonesia, sifat ini disebut juga dengan
dwi-matra (dua dimensi, dimensi datar).
Objek yang sering muncul dalam karya-karya purbakala adalah manusia,
binatang, dan objek-objek alam lain seperti
pohon,
bukit,
gunung,
sungai, dan
laut.
Bentuk dari objek yang digambar tidak selalu serupa dengan aslinya. Ini disebut
citra dan itu sangat dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis terhadap objeknya. Misalnya, gambar seekor
banteng dibuat dengan
proporsi tanduk yang luar biasa besar dibandingkan dengan ukuran
tanduk
asli. Pencitraan ini dipengaruhi oleh pemahaman si pelukis yang
menganggap tanduk adalah bagian paling mengesankan dari seekor banteng.
Karena itu, citra mengenai satu macam objek menjadi berbeda-beda
tergantung dari pemahaman
budaya masyarakat di daerahnya.
Pada satu titik, ada orang-orang tertentu dalam satu kelompok masyarakat prasejarah yang lebih banyak menghabiskan
waktu untuk menggambar daripada mencari
makanan.
Mereka mulai mahir membuat gambar dan mulai menemukan bahwa bentuk dan
susunan rupa tertentu, bila diatur sedemikian rupa, akan nampak lebih
menarik untuk dilihat daripada biasanya. Mereka mulai menemukan semacam
cita-rasa keindahan dalam kegiatannya dan terus melakukan hal itu
sehingga mereka menjadi semakin ahli. Mereka adalah
seniman-seniman yang pertama di muka
bumi dan pada saat itulah kegiatan menggambar dan melukis mulai condong menjadi kegiatan
seni.
Seni lukis zaman klasik
Seni lukis zaman klasik kebanyakan dimaksudkan untuk tujuan:
- Mistisme (sebagai akibat belum berkembangnya agama)
- Propaganda (sebagai contoh grafiti di reruntuhan kota Pompeii),
Di zaman ini lukisan dimaksudkan untuk meniru semirip mungkin
bentuk-bentuk yang ada di alam. Hal ini sebagai akibat berkembangnya
ilmu pengetahuan dan dimulainya kesadaran bahwa seni lukis mampu
berkomunikasi lebih baik daripada kata-kata dalam banyak hal.
Seni lukis zaman pertengahan
Sebagai akibat terlalu kuatnya pengaruh
agama pada zaman pertengahan, seni lukis mengalami penjauhan dari
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai
sihir yang bisa menjauhkan manusia dari pengabdian kepada
Tuhan. Akibatnya, seni lukis pun tidak lagi bisa sejalan dengan
realitas.
Kebanyakan lukisan pada zaman ini lebih berupa
simbolisme, bukan realisme. Sehingga sulit sekali untuk menemukan lukisan yang bisa dikategorikan "bagus".
Lukisan pada masa ini digunakan untuk alat
propaganda
dan religi. Beberapa agama yang melarang penggambaran hewan dan manusia
mendorong perkembangan abstrakisme (pemisahan unsur bentuk yang "benar"
dari benda).
Seni lukis zaman Renaissance
Berawal dari kota
Firenze. Setelah kekalahan dari
Turki, banyak sekali
ilmuwan dan budayawan (termasuk pelukis) yang menyingkir dari
Bizantium menuju daerah semenanjung
Italia sekarang. Dukungan dari keluarga
deMedici yang menguasai kota Firenze terhadap ilmu pengetahuan modern dan seni membuat
sinergi keduanya menghasilkan banyak sumbangan terhadap kebudayaan baru
Eropa.
Seni rupa menemukan jiwa barunya dalam kelahiran kembali seni zaman
klasik. Sains di kota ini tidak lagi dianggap sihir, namun sebagai alat
baru untuk merebut kembali kekuasaan yang dirampas oleh Turki. Pada
akhirnya, pengaruh seni di kota Firenze menyebar ke seluruh Eropa hingga
Eropa Timur.
Tokoh yang banyak dikenal dari masa ini adalah:
Art nouveau
Revolusi Industri di
Inggris
telah menyebabkan mekanisasi di dalam banyak hal. Barang-barang dibuat
dengan sistem produksi massal dengan ketelitian tinggi. Sebagai
dampaknya, keahlian tangan seorang
seniman tidak lagi begitu dihargai karena telah digantikan kehalusan buatan
mesin.
Sebagai jawabannya, seniman beralih ke bentuk-bentuk yang tidak mungkin
dicapai oleh produksi massal (atau jika bisa, biaya pembuatannya akan
menjadi sangat mahal). Lukisan, karya-karya seni rupa, dan kriya
diarahkan kepada kurva-kurva halus yang kebanyakan terinspirasi dari
keindahan garis-garis
tumbuhan di alam.
Sejarah seni lukis di Indonesia
Seni lukis modern
Indonesia dimulai dengan masuknya penjajahan
Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa
Eropa Barat pada zaman itu ke aliran
romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan aliran ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten yang cukup beruntung bisa mempelajari
melukis gaya Eropa
yang dipraktikkan pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan
belajar melukis ke Belanda, sehingga berhasil menjadi seorang pelukis
Indonesia yang disegani dan menjadi pelukis istana di beberapa negera
Eropa. Namun seni lukis Indonesia tidak melalui perkembangan yang sama
seperti zaman renaisans Eropa, sehingga perkembangannya pun tidak
melalui tahapan yang sama. Era revolusi di Indonesia membuat banyak
pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke
arah "kerakyatan". Objek yang berhubungan dengan keindahan alam
Indonesia dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab dianggap
menjilat kepada kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme
yang populer pada masa itu. Selain itu, alat lukis seperti cat dan
kanvas yang semakin sulit didapat membuat lukisan Indonesia cenderung ke
bentuk-bentuk yang lebih sederhana, sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan
ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih
membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu,
sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai
penyampai pesan dan alat propaganda. Perjalanan seni lukis Indonesia
sejak perintisan R. Saleh sampai awal abad XXI ini, terasa masih
terombang-ambing oleh berbagai benturan konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran
keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang
membuahkan seni alternatif atau
seni kontemporer,
dengan munculnya seni konsep (conceptual art): “Installation Art”, dan
“Performance Art”, yang pernah menjamur di pelosok kampus perguruan
tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif
semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu pula seni lukis
konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan
lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan
bisnis alternatif investasi.